I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laut seperti halnya daratan, juga dihuni oleh biota-biota laut,
yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme hidup lainnya. Biota laut
mendiami hampir semua bagian laut, mulai dari wilayah pantai, permukaan laut
hingga ke dasar laut yang terdalam sekali pun. Jumlah dan keanekaragaman
jenis biota laut ini sangat menakjubkan. Di laut terdapat makhluk-makhluk mulai
dari yang berupa jasad-jasad hidup bersel satu yang sangat kecil sampai yang
berupa jasad-jasad hidup yang berukuran sangat besar.
Terdapat kehidupan yang sangat beranekaragam di laut,
akan tetapi biota laut hanya dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yakni
plankton, nekton dan benthos. Romimohtarto dan Sri Juwana (2001) mengemukakan
bahwa pengelompokkan ini tidak ada kaitannya dengan jenis menurut klasifikasi
ilmiah, ukuran atau apakah mereka tumbuha-tumbuhan atau hewan, tetapi hanya
didasarkan pada kebiasaan hidup mereka secara umum, seperti gerakan berjalan,
pola hidup dan sebaran menurut ekologi.
Plankton merupakan
biota laut yang beranekaragam dan terpadat di laut karena mencakup sejumlah
besar biota di laut. Banyak biota laut yang dalam daur hidupnya menempuh lebih
dari satu cara atau siklus hidup. Pada saat mereka menjadi larva atau juwana (juvenile), mereka hidup sebagai
plankton dan kemudian menjadi nekton atau bentos pada saat dewasa (Asriyana et al. 2012).
Pengemban utama
produsen primer di laut adalah tumbuhan mengapung dan melayang atau
fitoplankton yang berfungsi untuk mengatasi kebutuhan zat organik di dalam
ekosistem bahari. Tumbuhan ini memang berukuran kecil tetapi terdapat dalam
jumlah yang besar dalam ekosistem laut. Oleh karena ukuran tubuhnya sangat
bervariasi yaitu mulai dari 2 µm (bakteri) sampai 20 cm atau lebih (misalnya
ubur-ubur), Arinardi et al. (1997) menyatakan
bahwa dalam melakukan penelitian terhadap plankton, tidak terdapat alat yang
mampu mengkoleksi seluruh jenis plankton hanya dengan satu jenis alat saja.
Banyak faktor (seperti
alat, frekuensi pengambilan, efisiensi jaring, sifat migrasi plankton)
mempengaruhi densitas dari sebaran plankton di ekosistem akuatik. Oleh karena
itu, rancangan sampling dan pengawetan sampel sama pentingnya dengan teknik
identifikasi dan analisis plankton di laboratorium agar hasilnya dapat memberikan
informasi berharga mengenai keadaan plankton di wilayah studi.
1.2.
Tujuan
Adapun tujuan kerja praktek ini antara lain adalah :
1. Memperoleh
pengetahuan mengenai metode penelitian fitoplankton, terutama teknik sampling,
pengawetan dan identifikasi fitoplankton.
2. Mengetahui
teknik perhitungan kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton.
II TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Definisi Plankton
Plankton didefinisikan semua jasad hidup nabati
(tumbuhan) dan hewani (hewan) yang hidup bebas di perairan dengan kemampuan gerak
terbatas sehingga sebagian besar gerakannya secara pasif mengikuti pergerakan
arus air (Newell and Newell. 1963). Menurut Asriyana et al (2012), plankton berbeda dengan nekton yang dapat berenang
cukup kuat sehingga dapat melawan gerakan massa air. Plankton juga memiliki
perbedaan dengan bentos yang terdiri dari organisme yang hidup di dasar
perairan.
Sedangkan menurut Romimohtarto et al. (2001), plankton adalah biota yang hidup di mintakat pelagik
dan mengapung, menghanyut atau berenang sangat lemah, artinya mereka tak dapat
melawan arus. Plankton ini terdiri dari fitoplankton (phytoplankton) atau tumbuh-tumbuhan/ plankton nabati dan
zooplankton atau plankton hewan. Di dalam kelompok fitoplankton terutama adalah
diatom, dinoflagellata, coccolithophore, cyanophyceae dan chlorophyceae.
Sedangkan ke dalam kelompok plankton hewan dimasukkan jutaan zooplankton mulai
dari Filum Protozoa sampai Filum Chordata.
2.2. Pengelompokkan Plankton
a)
Berdasarkan Ukuran
Berdasarkan ukurannya,
Arinardi et al. (1997) menggolongkan plankton
ke dalam beberapa kelompok. Walaupun pembagian ini secara artifitial, akan
tetapi penting dalam penelitian jaringan pakan komunitas plankton dan dalam
melakukan pengambilan sampel plankton. Berdasarkan ukuran, plankton terbagi
atas plankton non-net dan plankton net. Plankton non net adalah plankton yang diambil dengan botol air (Nansen atau niskin botol) , sedangkan plankton net merupakan plankton yang tertangkap
oleh jaring Pengelompokkan plankton berdasarkan ukurannya dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Pengelompokkan Plankton
Berdasarkan Ukuran
Kelompok
|
Ukuran
|
Biota Utama
|
A. Plankton non-net*)
|
||
1. Ultra
nanopalnkton
|
2 µm
|
Bakteria
|
2. Nanoplankton
|
2-20 µm
|
Fungi,
Flagellata dan diatom kecil
|
3. Micropalnkton
|
20-200 µm
|
Sebagian besar fitoplankton,
foraminifera, cilliata, rotifera dan nauplius copepoda
|
B. Plankton net *)
|
||
1. Mesoplankton
|
0,20-200
mm
|
Cladocera,
copepoda dan larvaceae
|
2. Macroplankton
|
2-20 mm
|
Pteropoda, copepoda, euphausiid dan
chaetognatha
|
3. Mikronekton
|
20-200 mm
|
Cephalopoda, euphausiid, sargestid dan
myctophid
|
4. Megaloplankton
|
20-200 mm
|
Scyphozoa dan Thaliacea
|
Sumber: Omori and Ikeda (1984) dalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2O-LIPI) (1997).
Perbedaan antara mikronekton dan
megaloplankton bukan didasarkan atas ukurannya melainkan pada struktur
tubuhnya. Mikronekton merupakan biota bertulang belakang atau rangka luar
(eksoskeleton) seperti ikan dan crustacea, sedangkan megaloplankton mmepunyai
tubuh lunak dan kenyal seperti salpa dan ubur-ubur.
Sedangkan menurut Wiadnyana dan Wagey
(2004) dalam Asriyana et al (2012), plankton
dibedakan menjadi :
1.
Megaplankton : hewan berukuran besar dengan
kemampuan gerak
terbatas, misalnya ubur-ubur.
2.
Makroplankton : plankton yang dapat dilihat degan
mata telanjang
(1 mm – 10 mm).
3.
Mikroplankton : plankton dengan ukuran 0,075 mm
sampai <1 mm.
4.
Nanoplankton : plankton dengan ukuran 5 µm
sampai < 0,075 mm.
5.
Ultraplankton : plankton terkecil dengan ukuran
di bawah 5 µm.
b) Berdasarkan Habitat
Berdasarkan habitat atau tempat hidupnya, Omori and
Ikeda (1984) membagi plankton menjadi plankton bahari atau haliplankton dan
plankton air tawar atau limnoplankton :
1.
Plankton bahari
(Haliplankton)
a.
Plankton oseanik : plankton yang hidup di luar paparan
benua.
b.
Plankton neritik : plankton yang hidup di atas
paparan benua (mulut
sungai, perairan pantai dan perairan lepas pantai).
c.
Plankton air
payau : plankton yang hidup di
perairan salinitas rendah
(0,5-30,0 ‰).
2.
Plankton air
tawar (Limnoplankton)
Limnoplankton termasuk semua plankton yang hidup di perairan
dengan salinitas kurang dari 0,5 ‰.
c) Berdasarkan Daur Hidup
Berdasarkan daur hidupnya plankton
dibedakan menjadi plankton tetap dan plankton sementara.
1.
Plankton tetap
(Holoplankton)
Di
dalam kelompok ini, seluruh daur hidup biota dilalui sebagai plankton. Artinya,
jika larva tersebut berasal dari induknya yang planktonik, maka apabila larva
tersebut bermetamorfosis menjadi hewan muda dan kemudian menjadi hewan dewasa,
ia akan tetap hidup sebagai plankton. Dengan kata lain, holoplankton merupakan
biota laut yang hidup sebagai plankton dari lahir sampai mati.
2.
Plankton
sementara (Meroplankton)
Kehidupan
plankton dari kelompok ini hanya terjadi pada awalnya yaitu pada stadia telur
dan larva/juwana , karena setelah dewasa mereka akan menetap di dasar laut
sebagai bentos atau berenang bebas sebagai nekton. Contoh dari kelompok ini
ialah berbagai jenis ikan (nekton), cumi dan kerang-kerangan (Romimohtarto
dan Sri Juwana. 2001).
2.3.
Fitoplankton
Fitoplankton
merupakan nama umum untuk plankton tumbuhan atau plankton nabati yang terdiri
dari beberapa kelas yaitu, Cyanophyceae, Rhodophyceae, Bacillariphyceae,
Cryptophyceae, Dynophyceae, Crysophyceae, Haptophyceae, Raphidiophyceae,
Xanthophyceae, Eustigmatophyceae, Euglenophyceae, Prasinophyceae dan Chlorophyceae.
Dari ketiga belas kelas fitoplankton tersebut, dalam komunitas fitoplankton di
laut hanya empat kelas di antaranya merupakan kelas terpenting yaitu
Bacillariophyceae, Dynophyceae, Haptophyceae dan Cryptophyceae.
Diatom
(Bacillariophyceae) dan Dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan anggota utama
fitoplankton dan terdapat di seluruh perairan laut, baik perairan pantai maupun
perairan oseanik. Sementara Coccolithophor (Haptophyceae) lebih sering hidup di
perairan oseanik, Cryptophyceae di perairan pantai dan Chlorophyceae sering
melimpah di perairan tropis (Arinardi et
al. 1997).
a.
Diatom (Kelas
Bacillariophyceae)
Ganggang
ini disebut juga golden-brown algae karena
kandungan pigmen warna kuning lebih banyak daripada pigmen warna hijau seinga
perairan yang padat diatomnya akan terlihat agak coklat muda. Diatom merupakan
anggota fitoplankton paling dominan di laut, terutama di laut terbuka dan
ukurannya berkisar 0,01-1,00 mm. Bentuk diatom dapat berupa sel tunggal atau
rangkaian sel panjang. Setiap sel dilindungi oleh silika dan menyerupai kotak.
Perkembangbiakan
dilakukan dengan pembelahan sel sederhana (binary
cell division). Beberapa jenis diatom yang hidup di pantai dapat membentuk
spora. Pembentuka spora ini dilakukan apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan
bagi kehidupannya. Kecepatan pembelahan sel diatom tergantung kepada kondisi
lingkungan dan jenis diatomnya. Sel diatom di perairan tropis dapat lebih cepat
melakukan pembelahan. Umur diatom sendiri tidak diketahui secara pasti, namun
diatom akan mati karena beberapa hal seperti
perubahan musim, dimakan herbivor (misalnya zooplankton), kekurangan zat
hara atau tenggelam ke bawah lapisan air yang tidak tertembus cahaya matahari.
Diatom
merupakan produsen primer terbanyak dan terdapat di semua bagian lautan, tetapi
teramat melimpah di daerah permukaan massa air. Jenis diatom yang umum dijumpai
di perairan lepas pantai Indonesia antara lain adalah Chaetoceros sp, Rhizosolenia
sp, Thalassiothrix sp dan Bacteriastrum sp. Sedangkan di perairan
pantai atau mulat sungai biasanya banyak terdapat Skeletonema sp. dan kadang-kadang Coscinodiscus sp. Diduga kelimpahan Skeletonema ini dikarenakan ia dapat memanfaatkan kadar zat hara
lebih cepat daripada diatom lainnya (Romimohtarto dan Sri Juwana. 2001).
b.
Dinoflagellata
(Kelas Dinophyceae)
Plankton
ini cukup unik karena mempunyai sifat tumbuhan dan sifat hewan. Dikatakan
tumbuhan, karena Dinoflagellata menyerap zat hara dan membentuk makanannya
sendiri. Sebaliknya dimasukkan ke dalam golongan hewan yaitu Protozoa
(hewan bersel tunggal) karena dapat
memangsa biota lainnya. Dinoflagellata umumnya berwarna coklat muda dan
mempunyai dua bulu cambuk (flagel) yang dapat digunakan untuk bergerak. Dinoflagellata
memperbanyak diri dengan pembelahan biasa.
Genus
Dinoflagellata yang umum dijumpai di laut, antara lain Noctiluca, Ceratium, Peridinium dan Dinophysis. Ledakan populasi jenis-jenis Dinoflagellata tertentu (seperti
Pyrodinium, Gymnodinium dan Gonyaulax)
dapat menyebabkan red tide yaitu peristiwa
munculnya populasi fitoplankton secara tiba-tiba sehingga air berwarna merah
atau coklat-merah dan mengeluarkan zat beracun (Arinardi et al. 1997).
c.
Coccolithophor
(Haptophyceae)
Ganggang
ini bersel tunggal dan ukurannya termasuk dalam kisaran nanoplankton
(0,005-0,075 mm). Di perairan tropis, fitoplankton ini sering didapatkan dalam
jumlah besar sehingga peranannya dianggap penting. Ada pula jenis
Coccolithophor yang bercambuk tetapi sukar diawetkan dan dipelajari secara
taksonomis. Salah satu contoh dari kelompok ini ialah Phaecyctis pouchetii yang mempunyai sebaran luas tetapi jumlah yang
besar biasanya ditemukan di perairan dingin. Jenis fitoplankton ini dapat
mengeluarkan racun asam akrilik (Acrylic
acid) (Arinardi et al. 1997).
d.
Ganggang
hijau-biru (Blue-green algae, Kelas
Cyanophyceae)
Ganggang
hijau-biru ini umumnya terdapat di perairan pantai dan perairan payau. Salah
satu jenis yang dapat hidup di perairan miskin akan zat hara adalah
Trichodesmium. Ganggang ini bersel tunggal dengan ukuran hanya 0,001 mm,
tersebar luas dan cukup banyak serta diduga merupakan makanan zooplankton
kecil. Selnya lunak dan kaya akan pigmen pikoeretrin sehingga berwarna
kemerahan. Gerombolan Trichodesmium umum dijumpai di Laut Jawa dan Samudera
Hindia, terkadang hanyut beberapa kilometer sejajar pantai (Romimohtarto dan
Sri Juwana. 2001).
e.
Ganggang hijau (Green-coloured algae, Kelas
Chlorophyceae)
Ganggang
ini berwarna hijau biasa atau hijau cerah, sering terlihat blooming di estuari
atau perairan tertutup tetapi sangat sedikit di laut terbuka. Jenisnya da yang
berflagel dan ada pula yang tidak. Umumnya berukuran nano atau ultraplankton
(kurang dari 0,005 mm), pembelahan dilakukan seperti biasa. Salah satu contoh
ganggang ini adalah Chlorella (diameter 0,005 mm). Ganggang ini biasanya melimpah
di perairan yang relatif tenang seperti danau dan tambak.
Jika
terjadi ledakan populasi, air akan berlendir, kotor atau membentuk suatu
lapisan di permukaan air. Kematian dan pembusukan ganggang hijau ini dapat
menyebabkan kondisi perairan semakin buruk. Chlorella sp. dapat mengeluarkan
zat kimia yang menghambat pertumbuhan fitoplankton jenis lain sehingga hanya
Chlorella yang tetap sumbuh dengan subur (Arinardi et al. 1997).
Gambar 1. Contoh fitoplankton dari berbagai kelas
(sumber:
2.4.Sampling Plankton
Menurut
Mustafa (2000) sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada
sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur
yang akan diteliti. Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih
tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik
populasi, maka cara penarikan sampelnya
harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan
sampel.
Secara umum, sampel
yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi.
Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur
sesuatu yang seharusnya diukur. Sampel yang valid ditentukan oleh dua
pertimbangan yaitu akurasi dan presisi. Akurasi atau ketepatan merupakan
tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sampel. Dengan kata lain, semakin
sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, maka semakin akurat sampel
tersebut. Sedangkan presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi peneliti
dengan karakteristik populasi.
Dalam mempelajari
palnkton, tidak akan terlepas dari sampling plankton di lapangan. Teknik atau
pencuplikan plankton dari perairan yang paling mudah umumnya dapat dilakukan
dengan menyaring sejumlah massa air dengan jaring halus. Bergantung pada
tujuannya Wardhana (1997) menyatakan bahwa sampling plankton dapat dilakukan
secara kualitatif atau kuantitatif.
1.
Sampling Plankton Secara Kualitatif
Pencuplikan
plankton secara kualitatif di perairan dapat dilakukan dengan menarik jala
plankton baik secara horizontal maupun vertikal. Pada perairan yang banyak
terdapat tumbuhan air pencuplikan plankton dapat dilakukan dengan jala plankton
bertangkai. Disamping jala plankton, ikan planktivor sering merupakan pengumpul
plankton yang sangat baik. Ikan tersebut dapat mengumpulkan berbagai jenis
plankton yang kadang-kadang tidak tertangkap jala. Untuk menghindari agar
plankton yang dimakan tidak dicerna lebih lanjut, ikan yang diperoleh harus
segera dibunuh.
2.
Sampling Plankton Secara Kuantitatif
Pada umumnya
pengumpulan plankton secara kuantitatif dapat dilakukan dengan botol, jaring,
atau pompa. Cara sampling seperti ini umumnya dilakukan untuk mengetahui
kepadatan plankton per satuan volume dengan pasti.
a.
Botol
Alat pengukuran plankton yang sering
digunakan antara lain adalah botol Nansen atau Kemmerer, Van Dorn dan botol
biasa. Botol gelas bermulut lebar dan bertutup gelas dipasang pada tali dan
diturunkan sampai kedalaman yang ditentukan dan air dibiarkan masuk ke
dalamnya. Untuk mengumpulkan plankton secara vertikal pada kedalaman tertentu dapat
digunanakan botol Kemmerer atau Nensen. Botol dikaitkan dengan tali dan
diturunkan sampai kedalaman yang diinginkan. Pemberat (mesenger) kemudian
diturunkan sehingga melepaskan kait tutup yang terbuat dari karet. Air yang
tertampung dalam botol kemudian disaring dengan jala plankton (Wardhana. 1997).
Cara pengumpulan plankton seperti ini
memiliki kekurangan karena plankton motil dapat menghindar masuk ke dalam
botol. Sedangkan kelebihan alat ini antara lain ialah volume air dan kedalaman
pengambilan sampel dapat diketahui dengan tepat.
Gambar 2. Botol pengambil contoh plankton (a) Van Dorn (b) Botol biasa
(sumber: Arinardi dalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2O-LIPI) (1997))
b.
Pompa
Pompa yang
cocok untuk mencuplik fitoplankton umumnya yang menggunakan gerakan memutar.
Air dari kedalam tertentu dipompa melalui pipa yang telah diberi tanda. Pada
ujung pipa perlu diberi pemberat agar tetap tegak lurus. Corong dipasangkan
pada saluran masuk pipa untuk mencegah plankton motil menghindar. Garis tengah pipa
perlu diseuaikan dengan daya hisap pompa. Air keluaran dari pompa disaring
dengan jala plankton yang dibiarkan sebagian terendam dalam air untuk menjegah
rusaknya plankton (Wardhana. 1997).
Kelebihan
pengambilan dengan pompa adalah sama seperti pengambilan dengan botol yaitu volume air
dan kedalaman pengambilan sampel dapat diketahui dengan tepat. Sedangkan kekurangannya
adalah terbatasnya kedalaman yang dapat diambil karena kemampuan daya hisap
pompa dan kemungkinan rusaknya plankton ketika melalui pompa.
Gambar 3. Pompa pengambil contoh plankton
Sumber: Arinardi dalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2O-LIPI) (1997).
c.
Jaring
Asriyana
et al (2012) menyatakan bahwa jaring plankton mula-mula diperkenalkan oleh Yohannes Miller (1846) yang
dikenal dengan nama “jaring plankton tarik”. Banyak alat yang telah diciptakan
untuk koleksi plankton, tetapi yang banyak digunakan adalah alat berbentuk
jaring. Penggunaan jaring ini selain sangat praktis juga sampel yang diperoleh
cukup banyak. Jaring plankton umumnya berbentuk kerucut dengan berbagai ukuran
tetapi biasanya panjang jaring sekitar 4-5 kali garis tengah mulutnya. Bahan
jaring dibuat dari kain yang digunakan untuk menyaring berbagai ukuran butir (bolting silk cloth) atau nilon. Bolting silk terbuat dari benang sutera
halus yang mata jaringnya dirancang untuk tidak mudah berubah.
Jaring
berfungsi untuk menyaring air serta plankton yang berada di dalamnya. Oleh
karena plankton yang tertangkap sangat tergantung pada ukuran mata jaring maka
ukuran mata jaring yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis atau ukuran
plankton yang akan diamati. Untuk perairan dangkal di daerah tropis, Wickstead (1965)
menganjurkan untuk menggunakan mata jaring dengan ukuran 30-50 µm untuk
fitoplankton dan zooplankton kecil. Apabila digunakan mata jaring kecil maka
jaring harus ditarik lebih lambat agar air tersaring dapat keluar dengan lancar
(Arinardi et al. 1997).
Dalam
keadaan tertentu, ada pula peneliti yang mengambil plankton dengan cara
menciduk dengan ember atau gayung. Pengambilan sampel plankton dengan cara ini
tidak dianjurkan karena terlampau bias. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Arinardi et al (1997) bahwa plankton
tidak tersebar merata baik secara horizontal maupun vertikal dan plankton juga
dapat melakukan migrasi harian. Di bagian akhir ujung jaring terdapat alat untuk menampung plankton yang
terkumpul. Alat penampung ini biasanya berbentuk tabung yang mudah dilepas dari
jaring. Pada prinsipnya, tabung penampung harus memenuhi dua syarat yaitu,
pertama dapat dengan cepat dan mudah dioperasikan di laut dan kedua tidak
menampung air terlalu banyak. Tabung penampung plankton yang diciptakan oleh Z.
Nakai (Jepang) cukup baik untuk sampel berukuran sedang.
Dalam
penelitian plankton untuk analisis kuantitatif (kelimpahan), diperlukan data
tentang volume air yang tersaring melalui jaring sehingga plankton dapat
dinyatakan dalam sel atau ekor per m3 air tersaring. Untuk keperluan
ini digunakan
alat pencatat masuknya air ke dalam jaring yang dikenal sebagai flowmeter (Asriyana et al. 2012).
Gambar 4. Jaring plankton (a)
anyaman mata jaring diperbesar (b)
(sumber: Arinardi dalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2O-LIPI) (1997))
Selain alat-alat tersebut, Wardhana
(1997) menyatakan bahwa Continous plankton recorder (CPR) juga merupakan salah
satu alat pengumpul plankton yang ditarik dengan kapal. Di dalam alat CPR
terdapat dua gulungan jala dengan mesh 270μm. Selama
ditarik kapal, sampel plankton akan tertampung pada jala dan digulung
sedemikian rupa dalam satu tangki berisi larutan formalin. Plankton yang
terkumpul kemudian diangkat untuk di cacah dilaboratorium.
Cara
sampling yang digunakan juga tergantung pada tujuan yang diinginkan. Arinardi
(1997) mengelompokkan metode sampling atas :
a.
Horizontal
Dengan
cara ini plankton diambil secara mendatar (horizontal) di permukaan air atau di lapisan bawah air
yang diinginkan. Jaring ditarik untuk jarak atau waktu tertentu dengan
kecepatan tetap. Dari pengambilan cara ini akan didapatkan jumlah plankton
cukup banyak walau hanya pada lapisan tertentu.
Gambar 5. Pengambilan plankton secara horizontal
(sumber: Arinardi dalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2O-LIPI) (1997))
b.
Vertikal
Jaring
diturunkan pada kedalaman yang diinginkan dengan pemberat di bawahnya (biasanya
10 kg untuk diameter mulut jaring 0,45 m). Setelah itu, jaring ditarik dengan
kecepatan konstan. Untuk jaring halus biasanya ditarik dengan kecepatan 0,5
m/detik dan untuk jaring yang agak kasar adalah 1,0 m/detik. Sudut antara kawat
jaring dan garis vertikal sebaiknya dicatat untuk menentukan kedalaman
pengambilan.
Gambar 6. Pengambilan plankton secara vertikal
(sumber: Arinardi dalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2O-LIPI) (1997))
c.
Miring (Oblique)
Dalam
cara ini, sebuah pemberat diikat diujung kawat dan jaring dipasang pada jarak
tertentu dari ujung kawat. Kawat ini diturunkan secara perlahan ketika kapal
bergerak dengan lambat (sekitar 2 knot). Besar sudut kawat dengan garis
vertikal (sekitar 45o) tetap dipertahankan sampai kawat terulur pada
panjang yang diinginkan (biasanya pada kedalaman 200-300 m). Dengan besar sudut
tetap sama, kawat dengan jaringnya ditarik ke atas kapal.
Gambar 7. Pengambilan plankton secara oblique
(sumber: Arinardi dalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2O-LIPI) (1997))
Masih banyak alat dan
cara yang digunakan dalam sampling plankton tergantung kepada tujuan
pengambilan sampel plankton tersebut. Ada pula usaha-usaha untuk menyeragamkan
penggunaan alat dan metode pengambilan plankton sehingga hasil yang diperoleh
dapat segera dibandingkan. Salah satu usaha itu adalah penggunaan jaring NORPAC
(North Pacific Net) yang dihasilkan
oleh The North Pasific Oceanographic
Conference yang di selenggarakan di Honolulu (Amerika Serikat) dalam bulan
Februari 1956. Spesifikasi jaring ini adalah diameter mulutnya 0,45 m, panjang
1,80 m, lebar mata jaring 0,33 mm dan jaring yang berbentuk kerucut. Pada waktu
sampling, di tengah mulut jaring dipasang alat pencatat volume air yang masuk (flowmeter) dan pengambilan sampel
dilakukan secara vertikal atau miring dengan kecepatan 1,0 m/detik dari
kedalaman 150 meter (Arinardi et al.
1997).
2.5. Pengawetan Sampel Plankton
Setelah plankton
dikeluarkan dari tabung penampung (bucket)
sebaiknya segera diawetkan di dalam botol yang mulutnya cukup luas. Bahan
pengawet bukan untuk penelitian khusus biasanya digunakan cairan formalin 4 % sedangkan
untuk penelitian khusus, sampel didinginkan antara -10 sampai -25oC
agar metabolisme tubuhnya tidak bekerja (Arinardi et al. 1997).
Menurut Wardhana (1997) penggunaan
formalin sebagai larutan fiksatif atau pengawet harus melalui
pengenceran dengan perbandingan 1:5. Formalin yang akan digunakan harus
tersimpan dalam botol gelas atau polythene. Hindari penggunakaan formalin yang
tersimpan dalam botol kaleng karena mengandung besi yang akan mengotori sampel
plankton. Sebelum digunakan, formalin harus ditambahkan borax (kalsium karbonat
atau sodium karbonat) untuk menetralkan asam yang ada di dalamnya. Asam akan
melarutkan kapur atau rangka pada kebanyakan zooplankton. Untuk penyimpanan
dalam jangka panjang sebaiknya sampel plankton diawetkan dalam larutan formalin
5% dalam air suling. Sampel disimpan dalam botol yang tertutup rapat.
Pemanfaatan formalin untuk
mengawetkan fitoplankton perlu ditambahkan 5 tetes terusi (CuSO4) agar
fitoplankton tetap berwarna hijau. Sampel nanoplankton paling baik difiksasi
dan diawetkan dalam lugol iodin yang ditambah dengan asam asetat. Asam asetat
akan mengawetkan flagelum dan silia. Ke dalam 100 ml sampel air yang mengandung
nanoplankton tambahkan 2-3 tetes larutan lugol iodin. Nanoplankton akan
tenggelam
karena meyerap iodin. Tutup botol rapat-rapat dan simpan dalam ruang gelap.
Larutan lugol iodin dibuat dengan melarutkan 200 gr kalium iodida p.a dan 10 gr
iodin dalam 200 ml akuades. Pada saat iodin larut sempurna, tambahkan 20 ml
asam asetat glasial. Simpanlah larutan ini dalam botol gelas berwarna gelap
(Wardhana. 1997).
Untuk menghindari kekeliruan sampel
satu dengan sampel lainnya, Arinardi et
al (1997) menyatakan bahwa dipermukaan luar botol harus ditempelkan label
bertuliskan nomor stasiun, tanggal dan waktu pengambilan, posisi stasiun,
metode pengambilan, kedalaman pengambilan, nama kapal dan data
lain yang dianggap perlu.
2.6. Identifikasi dan Analisis Fitoplankton
Identifikasi
adalah pemberian tanda-tanda pada
golongan hewan, tumbuhan ataupun hal lainnya. Bergantung pada
tujuannya, umumnya analisis plankton yang mudah dilakukan adalah pengukuran
biomassa (berat kering, berat basa, atau volume plankton) dan pencacahan
plankter. Masing-masing cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pengukuran biomassa bertujuan untuk mengetahui banyaknya plankton secara
kuantitatif tanpa mengidentifikasi. Ini merupakan cara yang praktis dan
sederhana namun kurang teliti karena sering terbawa materi lain di luar
plankton.
Pengukuran volume plankton kurang
memberikan informasi yang tepat, oleh karena rongga antara plankton sering ikut
terukur. Pencacahan plankton dengan cara menghitung jumlah plankter per satuan
volume akan merupakan informasi yang lebih teliti, karena dapat memberikan
gambaran yang lebih pasti mengenai kepadatan plankton di suatu tempat.
Kepadatan plankton dapat digunakan untuk mengetahui penyebaran atau distribusi
plankton dalam suatu area. Perlu ditekankan di sini bahwa setiap organisme
berukuran besar yang secara nyata bukan merupakan bagian dari plankton harus
disingkirkan sebelum pengukuran apapun dilakukan (Wardhana. 1997).
Satu sampel plankton dapat terdiri
atas ribuan bahkan jutaan sel atau individu plankton. Oleh karena itu mencacah
seluruh sampel akan membutuhkan waktu yang lama. Untuk mempermudah umumnya
dilakukan mengencerkan sampel yang diperoleh dan diambil sebagian kecil sampel.
Tata cara pencacahan seperti ini disebut metoda subsampel. Cara pencacahan
dengan metoda subsampel pada dasarnya dilakukan dengan mencuplik sebagian kecil
(sub sampel) sampel plankton dan dicacah di bawah mikroskop. Besar kecilnya
volume subsampel akan sangat bergantung pada alat yang tersedia serta kepekatan
sampel. Terdapat beberapa cara pencacahan plankton dengan metoda subsampel
(Wardhana. 1997).
1. Cara Pertama
Pengambilan
subsampel dilakukan dengan cara menuangkan sampel plankton ke dalam gelas piala
bervolume 250 ml. Untuk memudahkan perhitungan, volume
sampel dapat diencerkan menjadi 100
- 200 ml (bergantung pada kepekatan sampel) dengan cara menambah atau
mengurangi larutan pengawetnya. Sampel diaduk hingga homogen dan dalam waktu
yang bersamaan diambil subsampelnya dengan mempergunakan pipet stempel bervolume
0,1 ml (untuk fitoplankanton) atau 2,5 ml (untuk zooplankton).
Sub sampel
dituangkan ke dalam talam pencacah sambil membilas toraks pipet dengan air.
Talam pencacah yang sering digunakan adalah Sedgwick-Rafter
Counting Cell untuk fitoplankton dan Bogorov atau yang sejenis untuk
zooplankton. Plankton dicacah sekaligus diidentifikasi di bawah mikroskop
dengan perbesaran sampai 25-200 kali bergantung pada ukuran plankter.
Pencacahan dilakukan dengan cara menghitung seluruh plankter yang tampak pada
talam pencacah (Arinardi et al.
1997).
2. Cara Kedua
Pencacahan
plankton pada Sedgwick-Rafter Counting Cell
juga dapat dilakukan dengan cara lain. Isi penuh Sedgwick-Rafter Counting Cell dengan sampel plankton dan tutup
dengan kover gelas secara baik sehingga tidak ada rongga udara di dalamnya.
Letakan Sedgwick-Rafter Counting Cell
berisi sampel plankton tersebut di bawah mikrokop yang lensa okulernya
dilengkapi dengan mikrometer okuler Whipple. Cacah jumlah plankton dari 10
lapangan pandang secara teratur dan berurutan. Apabila terdapat plankter yang
terletak pada garis batas okuler mikrometer Whipple di sebelah atas dan di
sebelah kiri harus dimasukkan ke dalam perhitungan sedang pada
garis batas bawah dan sebelah kanan tidak. Hal ini bukanlah suatu yang mutlak,
yang penting dilakukan secara konsisten (Arinardi et al. 1997).
3. Cara Ketiga
Metoda
subsampel juga dapat dilakukan dengan mengambil sebesar 0,04 ml sampel yang
telah diaduk homogen dengan pipet ukur 1 ml. Subsampel diletakan atau
diteteskan pada objek gelas dan ditutup dengan kover gelas berukuran 18x18
mm. Diasumsikan bahwa kover gelas
berukuran 18 x 18 mm dapat persis menutup 0,04 ml subsampel. Setelah diletakkan
di bawah mikroskop, diambil secara acak 20 pandangan yang meliputi seluruh
permukaan kover gelas. Pada tiap pandangan dihitung semua jenis plankton yang
terlihat. Sebelumnya diameter dari pandangan harus ditentukan terlebih dahulu
dengan mikrometer okuler.
Cara tersebut sangat tidak praktis dan kemungkinan
timbul kesalahan dalam perkiraan kepadatan jumlah plankter sangat besar,
walapun pencacahan plankton tidak dilakukan hanya pada 20 lapangan pandang
tetapi pada seluruh permukaan kover gelas. Berdasarkan
ketiga cara pencacahan plankton tersebut di atas, yang terpenting harus
diketahui secara pasti adalah berapa volume air yang berhasil tersaring oleh
plankton net (dalam liter atau meter kubik), berapa volume sampel yang
tertampung dalam botol plankton net (dalam mililiter), berapa banyak volume
subsampel yang diambil (dalam mililiter) dan apabila dilakukan pengenceran
terhadap sampel plankton, ini juga harus diperhitungkan (Arinardi et al. 1997).
DAFTAR
PUSTAKA
Arinaridi
O.H, Sutomo A.B, Yusuf S.A, Trimaningsih, Elly A, Riyono S.H. 1997. Kisaran Kelimpahan Dan Komposisi Plankton
Predominan Di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : LIPI. hlm 19-56
Aryawati Riris. 2007. Kelimpahan Dan Sebaran Fitoplankton Di Perairan
Berau Kalimantan Timur : 81 hlm. http://repository.ipb.ac.id. [19 Mei 2012]
Asriyana
Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan.
Jakarta : Penerbit PT Bumi Aksara. hlm 1-8
Ewinasis. 2012. Studi Indeks Keanekaragaman (Diversitas) Plankton : 2-3. http://repository.ipb.ac.id. [19 Mei 2012]
Lindsey Rebecca and Michon Scott. 1999. What are Phytoplankton. http://earthobservatory.nasa.gov.[19 Mei 2013]
Newell
G.E. and R.C. Newell. 1977. Marine
Plankton. Edisi ke-5. London : Hutchinson Educational.
Omori
M and T. Ikeda. 1984. Methods in Marine
Zooplankton Ecology. Jhon Wiley and Sons, Toronto. Canada : 332 hlm
Romimohtarto
Kasijan dan Sri Juwana. 2001. Biologi
Laut. Jakarta : Penerbit Djambatan. hlm 36-39
Wardhana
Wisnu. 1997. Teknik Sampling, Pengawetan
dan Analisis Plankton. [Jurnal] Jakarta : Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. 12 halaman
Wiadnyana
Ngurah N dan Wagey. 2004. Impacts of The
Occurence of Red Tide Species to The Fisheries in Indonesia. Jurnal Berkala
Perikanan Terubuk. hlm 17-33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar